Advertisement

Main Ad

4 Inspirasi dari Rumah Masa Kecil Bung Hatta di Bukittinggi

Bagai menjumpai seorang ayah sekaligus guru yang sudah lama tak bersua dengan perasaan rindu untuk berbagi cerita, perlahan langkah kaki ini memasuki laman sebuah rumah yang terletak di Jl. Soekarno-Hatta No. 37, Kecamatan Guguh Panjang, Bukittinggi.

Halaman belakang rumah yang asri dan terdapat dua lumbung padi. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis
Saya melepas pandangan dari sebuah jendela kamar yang terletak di bagian depan rumah tersebut setelah meresapi setiap apa yang ditawarkan dari ragam foto dan buku yang berada di dalam ruangan ini. Tampak dua gunung sejoli, Merapi dan Singgalang yang sedang ditutupi kabut tipis. Perlahan kabut tersebut mulai beranjak pergi.
Tak sekadar lewat cerita sejarah dari rangkaian buku dan ragam kisah dari mulut orang yang mengagumi sosok wakil Presiden pertama Republik ini, dari rumah sederhana tempat beliau banyak menghabiskan masa kecilnya, saya menyadari mengenai pelajaran hidup yang membuat hati ini disesaki ragam emosi.

1. Sang Pejuang Kemerdekaan Indonesia yang Gemar Membaca

Menembus dimensi waktu lewat ragam foto yang terpajang rapi. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
Di antara perabotan rumah yang tampak kuno dan antik terdapat jejaran buku dan beberapa plakat penghargaan dari instansi/peroranngan yanng ditujukan kepada bung Hatta. Saya teringat pada bagian kisah sepulang Bung Hatta dari masa pendidikannya di Belanda, ia membawa banyak buku yang dikemas sekitar 16 peti ke tanah air.
Pun ketika masa pengasingannya di Digul, Papua, Bung Hatta kerap membaca buku yang ia bawa dari Jakarta. Kebiasaan membaca mengasah intelektual pemilik nama lahir Mohammad Athar ini. Di masa pengasingan ia juga aktif menulis di berbagai surat kabar mengenai banyak hal diantaranya gagasan tentang kenegaraan.
Kegemaran membaca bung Hatta tak sekedar sebatas pada buku ekonomi, sosial dan politik tapi juga merambah pada buku sastra sehingga ilmunya sangat luas. Tak heran, saat di masa pengasingan itu, ia juga kerap mengajar tentang filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan. Ia juga menulis buku berjudul “ Pikiran Yunani’’ yang kelak ia gunakan sebagai Mas kawin ketika menikah pada 18 November 1945 disaat usianya beranjak 43.
Saya pun teringat pada kalimat Bung Hatta yang memberi inspirasi tersendiri bagi kita. “Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajamkan pikiran, sekaligus berguna untuk penerangan pikiran dan penetapan hati.”

2. The Founding Father’s of Indonesia

Bagian dalam rumah Bung Hatta yang tertata rapi dengan perabotan kuno dan antik. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis
“Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.” Saya terpaku pada pigura besar yang memajang foto hitam putih bung Hatta. Memejamkan mata dan berusaha menembus dimensi waktu di masa hidup beliau. Sejenak saya menelan ludah, menyadari apa yang pernah dilakukannya pada negara ini.
Tak sekadar dikenal rajin membaca, pria kelahiran Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 ini juga terkenal dengan pergerakannya terhadap kemerdekaan Indonesia. Semasa kuliah di Belanda, ia aktif dalam organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda) dan melakukan diskusi sesama pelajar Hindia Belanda. Bersama Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangoenkoesoemo dan beberapa temannya, Hatta mengubah nama organisasi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Kepulangan dari kuliah di Belanda Bung Hatta membawa keinginan melihat Indonesia Merdeka. Jiwa semangat untuk memerdekakan Indonesia terlihat dari aksi politik yang ia lakukan termasuk berpidato yang membuat Belanda gerah. Bahkan, yang lebih gila dari dirinya adalah ketika tidak memutuskan untuk menikah sebelum Indonesia merdeka.

3. Kejujuran Hati dan Kesederhanaan Hidup

Kamar di mana Bung Hatta dilahirkan. Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis
“Betul, banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, istimewa dalam tanah jajahan di mana semangat terlalu tertindas, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh daripada godaan iblis itu.”
Saya melempar pandangan ke segala penjuru ruangan di lantai dua. Meskipun mengalami pemugaran pada 1995 lalu, rumah ini masih mempertahankan arsitektur yang sama dan beberapa perabotan yang masih digunakan semasa bung Hatta tinggal di sini.
Dibesarkan di tengah keluarga besar dalam rumah ini, bung Hatta tumbuh menjadi pribadi yang menjunjung tinggi kesederhanaan hingga akhir hidupnya. Kisah kesederhananya pun banyak diceritakan lewat catatan sejarah yang membuat air mata ini meleleh. Ketidakmampuan ia membelikan mesin jahit untuk istrinya atau keinginannya untuk memiliki sepatu Bally yang tak pernah terwujud. Guntingan iklan sepatu itu tersimpan rapi di perpustakaannya.
Kesederhanaan hidup tak lepas dari sikap jujur yang ada dalam diri bung Hatta. Ia pemimpin yang sebisa mungkin menghindari praktik korupsi. Ia pun pernah mengembalikan dana taktis wakil presiden sebesar Rp 25.000,- , padahal jika tidak dikembalikan tidak masalah sebab tidak perlu dipertanggung jawab. Bung Hatta menilai ini bukanlah haknya dia. Selain itu, saat berangkat haji ia menolak menggunakan fasilitas negara.
Prinsip kejujurannya pun tercermin dari ucapannya, “ kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit di perbaiki.” Ia pun juga pernah mengungkapkan. “ Tak ada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran.”

4. Menghargai Waktu

Perlengkapan Kuda Bendi, salah satu transportasi yang digunakan Hatta untuk pergi ke sekolah. Foto merupakan
“Orang awam hanya berpikir bagaimana cara menghabiskan waktu. Orang-orang besar berpikir bagaimana cara menggunakannya.” – Author Unknown
Saya mengistirahatkan diri di halaman bagian belakang rumah tersebut, tepat di sebuah dapur yang terpisah dari bangunan utama. Menengadahkan kepala menikmati hawa dingin kota Bukittinggi. Meresapi perjalanan saya hari ini dari berbagai foto dan benda yang seolah berbicara di rumah ini tentang Bung Hatta.
Satu hal yang membuat saya tertampar adalah mengenai kedisiplinan waktu yang dimiliki seorang Bung Hatta. Sikap ini sudah dipeliharanya sejak kecil. Hal ini terlihat ketika bung Hatta menjadikan acuan kereta yang melintas dekat rumahnya sebagai waktunya segera berangkat ke Sekolah.
Bung Hatta mengatur waktunya dengan baik sehingga hidupnya terlihat teratur. Salah satu kisah bung hatta tentang menghargai waktu adalah ketika beliau masih menjabat jadi wakil presiden, ketika pesawat yang hendak mengantarkannya kecepatan lima menit, Hatta pun meminta pilot agar berputar-putar di udara, agar tepat pada waktunya mendarat di lapangan terbang sesuai jadwal yang telah ditentukan. Ia pun dijuluki “Manusia Jam” karena sikap menghargai waktunya ini. Dan, sudah berapa banyak waktu saya terbengkalai begitu saja sebagai seorang pemuda Indonesia?


Posting Komentar

0 Komentar